4 Juli 2014

Empat Tahun : Bagian Pertama


Ini sedikit kisah tentang masa kuliah saya. Tentang kegagalan, kegigihan, persahabatan, dan cinta. Semua bercampur aduk menjadi 1 selama saya kuliah di kampus. Saya bagi dalam 4 bagian. Bagian pertama menceritakan tahun pertama kuliah saya, begitupun dengan tahun kedua, ketiga, dan keempat. 

Keputusan Berat 

Setelah gagal mengikuti ujian masuk ke STIS (Sekolah Tinggi Ilmu Statistik), SNMPTN, dan Politeknik Negeri Bandung, saya hanya bisa pasrah, pasrah menunggu hasil ujian STAN yang belum kunjung muncul di web resminya. Saya ingat saat itu saya hanya bisa duduk termenung di kursi ruang tamu sambil melihat dan me-reload berkali-kali web STAN berharap pengumuman itu segera muncul.

Saya ingat juga saat itu ayah saya duduk di depan saya, memberikan 2 pilihan kepada saya jika tidak lolos masuk STAN, mencoba mengikuti ujian masuk ke Universitas Jember atau istirahat selama setahun dulu sambil mencari kursus Bahasa Inggris. Ya, ketika saya gagal masuk Polban (singkatan dari Politeknik Negeri Bandung), tante saya di Jember menanyakan kabar saya lewat ayah. Di saat tahu saya gagal, tante saya memberitahu bahwa di UNEJ (singkatan dari Universitas Jember) masih ada jadwal ujian masuk, ujian mandiri ke 2. 

Kesempatan untuk bisa kuliah, itu yang menjadi keputusan final saya. Tanpa berpikir panjang, saya memilih untuk berangkat ke Jember demi bisa kuliah. Saya masih belum tahu apa yang akan saya lakukan jika saya tidak kuliah dan di saat yang sama saya tidak memikirkan bahwa keputusan itu membuat saya jauh dari orang tua karena terpisah oleh jarak. 

Tanggal 4 Agustus 2010 merupakan penentuan apakah saya akan berangkat ke Jember atau tidak. Perasaan was-was menyelimuti saya di kala pengumuman STAN masih belum muncul. Berkali-kali muncul kabar HOAX di Facebook yang mengatakan kalau pengumuman STAN sudah ada, tapi saat saya membuka webnya tetap tidak ada. Ransel saya sudah siap, jikanya memang tidak lolos, di hari itu juga saya harus berangkat ke Jember karena besoknya adalah hari terakhir pendaftaran di UNEJ. Sekitar pukul 2 siang tiba-tiba teman saya memberi kabar kalau pengumumannya sudah ada. Karena keterbatasan kemampuan handphone saya untuk browsing, saya meminta teman saya itu untuk melihat apakah nama saya tertera disana atau tidak seraya memberikan nomor pendaftaran saya. Ternyata nama saya tidak ada disana.

Kegagalan masuk STAN memantapkan hati saya untuk berangkat ke Jember. Ditemani ayah, saya langsung berangkat ke stasiun. Sebelumnya saya pamit pada ibu dan meminta restunya agar saya dimudahkan. Memang berat rasanya untuk meninggalkan Bandung, tapi saya harus tetap berupaya untuk bisa kuliah. Tanpa ada keyakinan bisa lolos atau tidak, saya tetap melangkah tanpa tahu bahwa UNEJ sebenarnya adalah takdir saya yang telah ditentukan oleh Tuhan.   

Menjadi Orang Asing 

Sebagai mahasiswa perantauan, saya merasa menjadi minoritas disini. Terang saja, UNEJ sebagai universitas negeri yang letaknya paling timur di Pulau Jawa banyak didominasi oleh mahasiswa dari kota dan kabupaten di Jawa Timur, seperti Blitar, Malang, Surabaya, Banyuwangi, dan daerah lainnya di Jawa Timur. Karena bahasa mereka menggunakan Bahasa Jawa, dan saat itu saya masih belum mengerti bahasa Jawa, jadi saya hanya bisa diam saja. Bahkan saat pengenalan kampus (PK2) bulan Agustus 2010 lalu, saya hanya berdiri di barisan tanpa berkenalan satu sama lain seperti halnya yang lain. Selain karena bingung mau bertanya dengan bahasa Jawa, saya masih merasa sungkan karena di kampus saya mayoritas laki-laki, ya Fakultas Teknik.

Hingga akhirnya saya berkenalan dengan mahasiswa perempuan di depan saya, yang akhirnya sampai sekarang saya berteman dengannya, Novitasari, teman seperjuangan saya. Sejak saat itulah saya menjadi akrab dengannya, tidak jarang saya mengamati dia berbicara dengan teman-temannya yang lain sambil memahami artinya, walau sampai detik saya menulis ini saya masih belum lancar berbahasa Jawa. Empat tahun masih belum cukup bagi saya untuk memahami bahasa Ibu yang lain.
 

Namun keasingan itu menjadi tidak terasa karena teman-teman saya yang memahami saya bukan berasal dari Jawa Timur, sehingga ketika mereka berbicara dengan saya menggunakan Bahasa Indonesia dan karena pemahaman itulah kami menjadi akrab. Dan saya pun tidak merasa sendiri, ternyata di UNEJ, kampus yang amat jauh dari Barat, masih ada mahasiswa yang berasal dari Jawa Barat. Sebut saja Zheni, Riki, dan Tio, teman-teman saya dari Sukabumi, serta Andes, teman (sekaligus pacar) saya dari Cirebon. 

Predikat Mahasiswi Telat
 

Bukan Destiany namanya kalau tidak pernah terlambat. Sejak SMP, saya cukup sering datang terlambat ke sekolah. Kertas izin masuk dari guru piket cukup banyak menghiasi meja guru (walau masih belum mengalahkan rekor teman sekelas saya yang terlambat lebih dari setengah jam), pernah juga saya dipulangkan oleh guru piket karena datang lebih dari 15 menit. Bahkan saya mungkin harus diberi penghargaan karena seringnya saya berlari ke sekolah mengejar detik-detik ditutupnya gerbang sekolah. 

Kebiasaan terlambat ini pula masih mempengaruhi saya di kuliah tahun pertama (dan kedua, ketiga, hingga tahun terakhir kuliah). Mulai dari ospek fakultas, ospek jurusan, praktikum, bahkan kuliah. Waktu telatnya tidak parah kok, hanya berkisar 10-15 menit, tapi mungkin cukup menganggu bagi dosen yang sangat menghargai waktu. Dan karena kebiasaan saya inilah, untuk pertama kalinya saya tidak diperbolehkan masuk alias diusir oleh dosen paling killer saat mata kuliah beliau. Alhasil, saya pulang dengan menangis. Saya ingat sekali, saya terlambat pada menit ke 13, padahal pada rentang menit keterlambatan 1-15 menit masih diperbolehkan masuk. Ah, sial sekali saya pada saat itu. Namun, kejadian itu masih belum membuat saya jera, saya masih suka terlambat. Walau terlambatnya hanya pada dosen dan jam tertentu saja (dosen yang baik hati, red). Maaf ya pak? :) 

Ujian dan Cinta 

Untuk kesekian kalinya saya jatuh cinta. Iya, jatuh kemudian bangkit, jatuh, dan akhirnya mencoba bangkit lagi di awal kuliah. Di tahun pertama ini, entah kenapa saya harus mengalami falling in love in first sight. Mungkin Tuhan sangat sayang pada saya, karena setelah sebelumnya berkali-kali saya mengalami cinta yang bertepuk sebelah tangan, Tuhan mempertemukan dengan seorang lelaki yang apabila bertemu dengannya membuat hati saya berdegup kencang. Entah ini ujian atau anugerah, tapi saat itu saya membiarkan rasa itu tetap mengalir. 

Hal yang tak diinginkan terjadi. Ada hal yang membuat saya sedih dan amat terpuruk saat itu. Ya, saat dimana perasaan saya terombang-ambing karena harus mengalami “jatuh” karena rasa cinta yang begitu teramat sangat. Dan kejadian itu bersamaan dengan ujian akhir semester. Bayangkan ketika harus bertemu dengan orang yang tidak ingin kita temui di saat-saat penting. Cemas, gelisah, bingung menghantui saya hingga tidak bisa fokus dengan kertas ujian di depan saya. Alhasil, nilai C tertera di lembar hasil studi untuk mata kuliah Kalkulus 1 membuat IP saya di awal semester anjlok.

Mungkin ini bisa menjadi pelajaran bahwa jangan sampai ujian semester itu menganggu perasaan kita. Eh terbalik, maksud saya jangan sampai perasaan kita menghambat kita untuk mengerjakan ujian. Karena selain merugikan nilai, itu sangat merugikan waktu.

2 komentar:

  1. duh, penuh perjuangan sekali kak, tahun 2010 lalu aku juga sempat ikut SNMPTN di ITS etapi gagal dan akhirnya memilih untuk kerja di daerah Tangerang Selatan, walaupun akhirnya kuliah juga sik.
    Ternyata kalkulus 1 jadi momok kita bersama, aku dapet E di semester pertama haha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dibalik kegagalan itu Tuhan udah nyiapin sesuatu yang indah buat kita, hehe..
      Hahaha, itu kayaknya kuliah tak termaafkan, yang bisa dapet B itu udah paling bahagia banget, hahaha..

      Hapus