23 Mei 2020

Merayakan Lebaran Tanpa Perayaan


Halo teman pembaca! Apa kabar? Semoga selalu dalam keadaan sehat yaa.

Genap sudah 30 hari kita menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Menyambut malam 1 Syawal, gema takbir berkumandang dari segala penjuru masjid. Meski takbiran tahun ini dirasa kurang ramai dengan riuh suara bocah-bocah yang ikut melafazkan asma Allah, tapi tidak mengurangi esensi dari takbiran itu sendiri.

Idul Fitri tahun ini memang berbeda. Sejak pandemi Covid-19 menyerang hampir seluruh pelosok Bumi, banyak aktivitas yang terpaksa harus dilakukan di rumah, termasuk beribadah. Tidak ada yang menggelar sholat Ied di masjid esok pagi, khususnya untuk daerah yang termasuk dalam zona merah. Tidak ada khutbah setelah sholat tahun ini. Sholat Ied di rumah saja.

Lebaran tahun ini memang berbeda. Meski bagi sebagian orang dirasa mungkin sama saja. Berita beberapa hari ini yang sempat ramai dimana orang-orang berkerumun di pusat perbelanjaan baik yang sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan membeli "baju lebaran". Tapi untuk sebagian yang lain, lebaran tahun ini sungguh berbeda. Bagi para perantau yang sedang berjuang menuntut ilmu, yang berjuang menjemput rezeki, yang terpaksa menahan diri untuk tidak pulang kampung atau mudik atau apapun itu istilahnya, karena berusaha untuk saling menjaga dan dijaga agar tidak menularkan virus Corona dengan keluarganya.

Temen pembaca, tetap semangat yaa.

Lebaran tahun ini mungkin dirayakan tanpa perayaan seperti biasanya. Menyambut saudara-saudara dari luar kota yang hanya ditemui setahun sekali, saat lebaran saja. Rumah yang biasanya sepi kemudian ramai dengan banyak orang. Segala peralatan untuk tidur digelar di ruang tamu atau keluarga. Meski berdesakan yang penting nyaman untuk ngagoler. Nenek dan Mama yang sibuk hingga tengah malam menyiapkan sajian untuk dinikmati setelah sholat Ied. Tahun ini tertunda dulu.

Sejak shubuh rumah sudah ramai dengan antrian orang menuju kamar mandi. Adik-adik yang kecil sudah rapi dan wangi dengan baju kokonya. Berlari di depan rumah menanti sholat Ied tiba. Aku yang biasa mandi lama selalu dapat giliran terakhir setelah semua orang di rumah sudah bersiap. Kemudian bergegas ke masjid menyusul saudara-saudaraku yang lain. Sholat 2 rakaat dan mendengarkan khutbah, dilanjutkan dengan salam-salaman dengan tetangga. Tahun ini tidak dulu.

Kemudian sungkeman, saling meminta maaf dan memaafkan dengan Mbah Uti dan Mbah Akung, Papa dan Mama, Pakde dan Bude, Om dan Tante, dan persepupuan yang lain. Dilanjutkan dengan berbagi rezeki dari yang sudah bekerja untuk yang masih sekolah. Tak lupa menghabiskan kue yang ada di meja tamu, yang niatnya diberikan untuk yang berkunjung namun ludes dihabiskan tuan rumah. Tahun ini mungkin tak seramai tahun lalu.

Selesai menghabiskan kue, kemudian bersiap menuju rumah Enin di Subang. Merayakan lebaran dengan keluarga Papa. Biasanya keluarga dari Bandung, Bogor, Jakarta, dan Tangerang berkumpul di rumah Enin di hari kedua. Tahun ini harus bersabar tidak kesana dulu. Bahkan nggak ziarah ke makam Engki dulu. Padahal ya rindu.

Okay tahaan, jangan baper dulu.

Tahun ini sepertinya memang harus menunda dulu segala yang biasa ada. Jalanan yang macet karena ribuan orang mudik. Stasiun dan terminal yang padat dengan penumpang yang hendak pulang ke kampung halaman. Rumah mendadak jadi open house dengan para tetangga. Makan ketupat dan opor dengan keluarga. Berbagi THR dengan saudara. Foto bersama. Tahun ini harus bersabar dulu.

Saling meminta maaf dan silaturahim virtual dengan keluarga dan sahabat menggunakan video call atau aplikasi conference jadi salah satu obat melepas segala rindu. Tentu saja ada yang kurang. Tapi tidak mengurangi makna dari Idul Fitri kali ini. Cuma jangan lupa siapkan paket data dengan kuota yang banyak, sinyal yang (semoga) kuat, dan baterai yang penuh. Jangan sampai lagi bincang-bincang seru, kemudian kuota habis, kan jadi nggak seru hehe.

Mungkin satu hal positif yang aku dapatkan ketika tidak kumpul keluarga besar pada lebaran tahun ini. Tidak akan ada yang tanya, "Kapan nikah?", "Udah ada cowoknya?", dan sebagainya dan sebagainya. Bukannya menghindar, tapi jawabanku akan selalu sama, "Mohon doanya Tante". Ketimbang bosen kan hehe.

So, untuk temen pembaca yang lebaran tahun ini bisa berkumpul dengan keluarga, selalu bersyukur. Temen pembaca yang merantau dan belum bisa pulang ke rumah, tetap semangat. Temen pembaca yang sampai saat ini masih berjuang sebagai garda terdepan menyembuhkan para pasien positif Covid-19, kalian pahlawan! Semoga semuanya sehat selalu ya.

Nggak bosan-bosannya aku mengajak temen pembaca untuk berdoa bersama semoga pandemi Covid-19 ini segera berlalu. Bisa kembali beraktivitas seperti semula. Bisa berkumpul lagi dengan keluarga. Aamiin.

Meski lebaran tahun ini berbeda, tetap kita rayakan dengan penuh kemenangan dan sukacita. Happy Eid Mubarak Temen Pembaca! :)
Continue reading Merayakan Lebaran Tanpa Perayaan

20 Mei 2020

Momen Berkesan Saat Ramadhan


Halo temen pembaca! Tidak terasa hari ini sudah memasuki hari ke-28 Ramadhan ya. Sedih rasanya karena Ramadhan akan pergi meninggalkan kita. Apalagi di bulan Ramadhan saat masa pandemi Covid-19 ini dimana kita rindu menghabiskan momen Ramadhan bersama kerabat dan keluarga. Namun apa mau dikata jika para pendatang yang menggantungkan rezekinya di Negeri orang, para garda terdepan yang mencurahkan segala tenaga dan pikirannya serta bertaruh nyawa demi menyembuhkan para pasien Corona, mahasiswa perantauan yang tetap berada di tempatnya menimba ilmu, harus menahan diri untuk tidak bertemu anggota keluarga demi saling menjaga agar semuanya selalu dalam keadaan sehat dan selamat.

Ya Allaah, mudah-mudahan Corona segera berlalu ya, dan kami bisa kembali berkumpul dengan keluarga. Ketawa dan bercanda lagi dengan saudara-saudara. Aamiin..

Berbicara tentang momen-momen yang berkesan saat bulan Ramadhan. Tentu saja tidak lepas dari kegiatan sahur, tadarus Al-Quran, ngabuburit, buka puasa, tarawih, dan pesantren kilat di masjid atau sekolah. Setiap orang pastinya memiliki momen berkesan tersendiri, yang memorable, yang ngena di hati. Tapi bisa jadi momen berkesan yang kualami, belum tentu menjadi kesan untuk temen pembaca, atau konyol atau kayak yang "apaan sih?". Bisa jadi gitu kan ya, hehe.

Ramadhan tahun 2010. Untuk pertama kalinya dalam hidup berjauhan dengan keluarga, karena harus menimba ilmu di Negeri orang. Papa Mama di Bandung, dan aku di Jember. Meski di Jember pun aku tinggal dengan Om dan Tante, namun ada rasa dan suasana yang berbeda dengan keluarga sendiri.

Saat itu aku masih berusia 18 tahun. Remaja tanggung. Awalnya nggak pernah membayangkan akan kuliah di tempat yang jauh. Belum terbiasa. Belum bisa beradaptasi. Apalagi sejak pengumuman diterima kuliah hingga masa pengenalan kampus, aku belum sekalipun pulang ke rumah. Menghabiskan awal Ramadhan di perantauan seringkali membuatku menangis, terutama saat malam sehabis tarawih. Atmosfer yang berbeda, dimana biasanya apa-apa ada Papa dan Mama sekarang semuanya harus bisa diatasi sendiri. Harus bisa mandiri.

Karena saat Ramadhan waktu itu belum memasuki masa perkuliahan, jadi aku belum banyak mengenal teman-teman disana. Aku termasuk salah satu mahasiswa minoritas. Mayoritas mahasiswa disana berasal dari wilayah Jawa Timur. Jember, Banyuwangi, Lumajang, Bondowoso, Pasuruan, Probolinggo, bahkan Madura. Yang berasal dari Jawa Barat tidak banyak. Meski akhirnya aku tahu saat mulai masuk kuliah kalau ada teman-teman yang berasal dari Jawa Barat. Cirebon, Tasik, dan Sukabumi. Meskipun begitu semua teman-temanku disana baik. Baik buaanget malah. Walaupun awalnya sempat roaming karena perbedaan bahasa, hehe.

Temen pembaca juga gitu ngga sih waktu pertama kali ngerantau dan jauh dari orang tua?

Ramadhan tahun 2013. Kuliah tingkat 3. Aku menghabiskan hampir sebagian waktu Ramadhan di posko KKN di Desa Patemon, Tanggul, Jember. Bersama 8 orang temanku dari berbagai fakultas. Sari anak Kedokteran, Nanda Kedokteran Gigi, Sari Ekonomi, Reny dan Mas Heri Sosiologi, David Farmasi, Fendy Sistem Informasi dan Mas Iwan Sastra Inggris.


Selama di posko, kami piket bergantian untuk membuat makanan sahur dan buka puasa, juga mencuci piring dan gelas. Selalu sahur dan buka bersama-sama. Ada Reny dan Sari yang pintar memasak dan selalu menyajikan menu masakan yang enak dan bervariasi. Tapi kalau giliranku yang memasak, hanya sayur sop dan perkedel yang jadi andalanku. Hari ini perkedel tahu, besok perkedel kentang. Yang penting perkedel. Spesialis perkedel kata teman-temanku. Untungnya enak hehe.

Minggu-minggu pertama Ramadhan kami rajin tarawih di Surau. Mushola namun ruangnya lebih kecil lagi. Yang membuatku kaget pertama kali tarawih disana adalah kecepatan membaca surat dan melakukan gerakan sholat oleh Imam melebihi kecepatan mobil F1. Lebay ding hehe. Tapi serius cepat. Setiap sehabis tarawih badan terasa sakit dan berkeringat seperti habis berolahraga. Tak lama setelah itu kami menyerah dan memilih untuk tarawih di posko.

Temen pembaca ada yang pernah tarawih di tempat seperti itu? Kalau ada, boleh share dong gimana caranya bisa menyesuaikan kecepatan baca dan sholat imamnya?

Ramadhan tahun 2016. Kembali merantau karena tuntutan pekerjaan di Tangerang. Saat itu sedang ramai Jakarta Fair di Ji Expo Kemayoran. Aku dan teman kantorku janjian untuk kesana. Bukan untuk belanja. Lebih kepada penasaran seramai dan sebesar apa sih Jakarta Fair yang selalu kulihat iklannya di TV. Dan saat itu gajiku belum sebagai pegawai tetap, jadi merasa sadar diri aja hehe.

Kami kesana menggunakan KRL. Naik dari Stasiun dekat kantorku, Tanah Tinggi. Melaju menuju Stasiun Duri, kemudian berganti kereta Bogor-Jatinegara di jalur 1 dan turun di Stasiun Rajawali. Kata temenku, katanya, lebih dekat ke tujuan jika turun di Stasiun Rajawali daripada di Stasiun Kemayoran. Liat di Maps (hanya) sekitar 1,7 km. Tidak terlalu jauh (menurut kami). Kami memutuskan berjalan kaki. Tapi kenyataannya jauh juga haha. Apalagi saat itu perut kami kosong karena berpuasa. Namun karena sudah nanggung setengah jalan, kami melanjutkan perjalanan dengan (tetap) berjalan kaki.

Ji Expo ramai dengan pengunjung. Mungkin karena sudah dekat dengan lebaran juga, jadi wajar jika banyak pengunjung yang datang dan membeli untuk persiapan lebaran. Tapi aku tetap teguh pada pendirian, nggak belanja. Karena tidak cukup uangnya haha. Jadi hanya melihat-lihat, kemudian kelelahan. Ji Expo ternyata sebesar dan seluas itu. Mungkin yang udah pernah ke Jakarta Fair tahu ya.

Sehabis berbuka puasa di restoran fast food (masih) di Kawasan Ji Expo dan menunaikan sholat maghrib, temanku mengajakku berkunjung ke rumah saudaranya. Kami dijemput dengan mobil menuju rumahnya. Asyik mengobrol hingga malam, memaksa kami menginap semalam.

Keesokan harinya setelah diajak berkeliling Jakarta, aku pamit undur diri karena sudah ada janji dengan temanku yang lain. Kami sepakat bertemu di depan Stasiun Jakarta Kota untuk ngabuburit di Kota Tua. Tak lama kami bertemu, kemudian tujuan kami berubah setelah melihat Bus Wisata yang menghampiri kami.

Masjid Istiqlal menjadi tujuan kami selanjutnya. Melewati beberapa halte pemberhentian. Asyik juga ternyata naik Bus Wisata. Busnya 2 tingkat. Bangkunya persis seperti bus Transjakarta. Harga tiketnya, gratis. Ohh itu ternyata yang dinanti ya hehe. Ngga ding.


Kami turun di halte dekat pintu samping Masjid Istiqlal. Karena tibanya mendekati waktu berbuka, kami memutuskan untuk ikut berbuka disana. Setelah sholat Ashar, kami duduk memanjang berhadapan di halaman terbuka. Jamaah laki-laki dan perempuan duduknya terpisah. Di sampingku ada seorang ibu dengan kedua anaknya. Baik yang muda maupun yang sudah berusia lanjut ikut juga. Ahh, jadi seperti ini suasana berbuka puasa di Istiqlal. Ini pertama kalinya. Takjil dan nasi kotak menjadi sajian berbuka kami. Alhamdulillaah.

Temen pembaca ada yang pernah berbuka puasa di Istiqlal juga?

Ramadhan tahun 2019. Mungkin ini adalah momen terkonyol buatku. Ceritanya mau membeli obat di apotek. Kebetulan di apotek dekat kantorku habis. Sehingga aku mencari apotek itu di cabang lain. Apotek Berkat. Kenapa harus di apotek itu? Kebetulan yang dekat kantorku harganya lebih murah dibandingkan apotek lain. Jadi pikirku bisa jadi di cabang lain juga murah.

Sehabis sholat Ashar, aku berencana ke apotek sekalian mampir ke Summarecon Mall Serpong (SMS) untuk membeli skincare yang habis. Kebetulan produk yang kupakai hanya di outlet mall itu yang terdekat dari kos.

Berangkat dengan ojek online menuju daerah Pasar Baru Tangerang. Oh tapi tidak sama ya dengan Pasar Baru di Bandung. Disana banyaknya pabrik-pabrik bukan baju-baju hehe. Sepanjang jalan alhamdulillaah lancar, bisa sampai SMS sebelum Maghrib pikirku. Ternyata di luar dugaan, sesampainya di Apotek jalanan muaceeet luar biasa. Di kedua lajur kendaraan padat merayap. Klakson semua kendaraan saling berseru dan tidak ada yang mau mengalah. Tidak ada aparat polantas yang berjaga disana. Ampuun.

Melihat kondisi seperti itu aku berinisiatif untuk menggunakan ojek yang sama menuju SMS. Namun entah gimana aplikasinya error sehingga tidak bisa terhubung dengan drivernya. Melihat jalanan yang masih padat, dengan baik hatinya sang driver mengatakan bahwa beliau akan mengantarku ke tujuan berikutnya tanpa aplikasi. Biar nanti ongkosnya bisa diatur. Masya Allah. Allah Maha Baik. Bapaknya pun baik. Aku langsung bergegas ke apotek.

Ternyata harapan tak sesuai realita. Obat yang kucari tidak ada. Sudah jauh perjalanannya tapi hasilnya nihil. Tak lama kami berangkat menuju tujuan berikutnya. Karena sama-sama tidak ada yang hapal jalan dari Pasar Baru menuju SMS, kami hanya bergantung pada Google Maps.

Tiba-tiba ini jadi seperti ngebolang dadakan. Aku sama sekali tidak tahu rute yang kami lewati. Melewati jalan kampung, jalan sempit di bawah jalan tol, hingga ke kompleks perumahan Islamic Center di Karawaci. Kita nggak bisa saling salah-salahan. Mau nyalahin Google Maps juga gimana kan.

Adzan Maghrib berkumandang saat kami keluar dari komplek perumahan itu. Nggak terasa sudah sejam perjalanan kami. Mampir sebentar ke kios membeli air mineral untuk sekedar membasahi kerongkongan kami. Kemudian perjalanan lanjut kembali.

Alhamdulillaah, tiba di SMS sekitar jam 6 lewat. Kuucapkan banyak terima kasih dan maaf ke bapaknya. Sambil kuberikan ongkos dan tip, kemudian beliau pamit meninggalkanku. Perjalanan yang luar biasa melelahkan namun seru juga. Dan sedikit menyesal sih, dipikir-pikir kenapa juga harus berangkat menjelang buka yang jelas-jelas jalanan padat. Tapi ya sudahlah, pengalaman hehe.

Gimana, temen pembaca ada yang pernah ngalamin hal serupa? Seperti apa momen di bulan Ramadhan yang berkesan bagi temen pembaca? Yuk cerita disini :)

Continue reading Momen Berkesan Saat Ramadhan

18 Mei 2020

Blog atau Vlog?


Finally, setelah hampir 3 tahun lamanya vakum, bisa menyempatkan waktu lagi untuk menulis blog. Setelah banyak mempertimbangkan ini dan itu (baca : malas, wkwk), memutuskan untuk kembali menarikan jari-jemari di atas keyboard. Tapi sebelum berbicara ngalor-ngidul pada tulisan kali ini, aku pengen ngomong sesuatu.

Hai, apa kabar? Lama yaa nggak jumpa. Semoga kamu yang membaca ini sehat selalu yaa.

Sudah hampir 3 bulan Indonesia dilanda duka. Virus Corona (atau Covid-19) yang menyerang seluruh pelosok Negeri bahkan Dunia membuat segala aktivitas terkena imbasnya. Membuat mereka yang terkena dampak, jelas dirundung luka. Namun di balik salamku tadi, semoga menjadi doa agar yang sedang sakit bisa terangkat segera penyakitnya, agar yang masih sehat tetap terjaga imunnya, dan kita semua selalu ada dalam lindungan-Nya. Aamiin.

Well, berbicara tentang aktif ngeblog lagi, sebenernya beberapa waktu yang lalu aku sempet dilema ketika memilih antara blog atau vlog. Seperti yang temen-temen tahu kalau saat ini sedang viral sekali orang-orang menjadi Youtuber. Dari anak-anak, remaja, bahkan selebgram dan artis berlomba-lomba membuat konten kreatif hingga menjadi trending.

Tapi jangankan untuk memilih, niat untuk menulis blog aja selalu tertunda. Padahal udah niat banget sampe ganti domain dari yang gratisan dari blogger menjadi domain berbayar. Alasannya lucu sih. Jadi dulu alamat blogku itu http://www.dhezdhezkawaii.blogspot.com/. Karena blog ini dibuat saat masih SMA dan aku yang senang dengan hal-hal berbau Jepang terciptalah nama itu. Dhez yang merupakan singkatan dari namaku Destiany. Kawaii yang merupakan bahasa Jepang dari Lucu. So, keliatan alay kan ya? Wkwk. Itu pandanganku ketika membuka blog ini lagi saat sedang duduk di meja kantorku.

So, yaa alhamdulillaahnya ada rezeki saat itu, aku memutuskan untuk mengganti domain itu supaya keliatan elegan lah (ceritanya). Destiaprawidya.com. Diambil dari nama lengkapku, Destiany Prawidyasari. Supaya tidak nampak panjang sekali dan sulit dalam menuliskannya, sehingga diambil beberapa suku kata depan dan tampak berima hehe.

Namun sayang disayang, meski sudah ganti domain pun masih belum membangkitkan semangatku untuk menulis. Selain karena sibuk bekerja, kadang lembur. Sibuk rebahan, scrolling sosmed, atau marathon drama korea, sehingga keinginan menulis lagi-lagi tertunda.

Kemudian mencoba untuk mengganti template blog. Mencari yang desainnya lebih simple, nggak padat, SEO friendly dan responsive jelas. Dan kayaknya sebulan yang lalu menemukan desain template yang pas di mata pas di hati. Namun meski sudah ganti template yang sesuai selera, masih aja belum bisa menggelitik hati untuk mau lagi menulis. Duh Des..

Dari ceritaku tadi kayaknya udah kelihatan jelas yaa akhirnya milih apa, hehe. Aku memilih untuk menulis blog ketimbang membuat vlog. Meski sama-sama harus memikirkan konten yang mau dipublish, tapi dengan ngeblog, semua ide langsung tertuang begitu saja dalam tulisan. Membangkitkan segala imajinasi kemudian membuatnya menjadi sesuatu yang dapat dibaca. Vlog juga tentu perlu konsep, kadang harus ditulis juga, cuma ribetnya itu nanti harus edit ini itu supaya vlognya nanti layak dan menarik untuk ditonton.

Berhubung ini juga blog pribadi, jadi segala hal yang ingin aku ceritakan, aku bagi, dengan bebas aku publish disini. Lucu juga ketika membaca tulisan-tulisan lamaku beberapa tahun yang lalu (Blog ini sudah dibuat sejak tahun 2008), aku bisa kembali mengingat memori di masa lalu. Masa kecil, masa sekolah, hingga masa kuliah yang saat ini hampir aku lupakan. Senyum-senyum sendiri. Malu sendiri karena melihat tulisan-tulisan dahulu kala yang alaynya tak tertahankan. Baper sendiri karena baca tulisan tentang sang mantan hehe. Seru pokoknya. Itu juga yang jadi alasanku untuk tetap mempertahankan blog yang kubuat sejak SMA ini meski isinya udah nggak karuan.

Well, one day ada rencana juga sih bikin vlog. Waktunya kapan ya ditunggu aja. Lagi nunggu momen yang pas aja buat bisa seru-seruan bikin vlog. Tapi nggak  janji juga yaa hehe.

Udah lama juga nggak blogwalking, kangen juga. Menyapa para blogger yang lain. Apa kabar ya teman-teman blogger disana? Semoga sehat selalu yaa..
Continue reading Blog atau Vlog?

22 Desember 2017

Mother's Day : Wanita itu Kupanggil Mama

Bulan Agustus, 25 tahun yang lalu. Seorang wanita yang terbaring di sebuah ranjang di rumah bidan. Menahan perih dan sakit menunggu anak pertama yang dikandungnya selama 9 bulan lahir ke dunia. Aku tak bisa menggambarkan betapa kuatnya dia menanggung semua itu. Aku belum menjadi ibu. Tapi suatu saat nanti ketika akan menjadi ibu, aku akan merasakan hal yang sama. Tak bisa kubayangkan betapa luar biasa kekuatan wanita ini bertahan dengan semua rasa sakit itu.

Entah berapa jam lamanya wanita ini menunggu hingga waktu persalinan tiba. Hingga waktunya, ia berjuang habis-habisan untuk bisa melahirkan anak itu dengan selamat. Begitu kuatnya ia berjuang, dengan kondisi bayinya saat itu sungsang. Ketika bayi yang normal bisa keluar kepala dulu, tapi bayi ini kemudian keluar pertama kali dengan bagian “bokong” terlebih dahulu, kemudian kaki, dan kepala yang keluar di saat terakhir. Aku tak bisa membayangkan bagaimana si bayi itu bertahan dengan kondisi saluran pernafasannya yang masih terjepit di tubuh wanita itu. Tapi sungguh luar biasa karunia Allah, Dia menyelamatkan keduanya, sang bayi dan wanita itu.

Wanita itu yang kelak kupanggil Mama.

Mama adalah wanita yang paling galak dan protektif

Itu yang kupikirkan dari kanak-kanak hingga remaja. Meskipun aku tahu, itu adalah wujud kasih sayang dan kekhawatiran pada anaknya. Terutama karena kedua anaknya, aku dan adikku adalah perempuan. Kusebut ia galak, sebenarnya lebih pada disiplin. Disiplin terhadap waktu. Jam 7 pagi anak-anaknya sudah harus mandi. Jam 2 siang wajib tidur siang hingga jam 4 sore. Dan jam 4 sore anak-anaknya juga sudah harus mandi sore. Begitu setiap hari. Namun dasarnya aku yang masih anak-anak, selalu saja membuat Mama jengkel. Bermain di rumah tetangga sepanjang waktu, karena keranjingan dengan Playstation 1 yang tetanggaku punya. Tak jarang Mama harus mengetuk pagar tetangga dan memanggilku untuk segera pulang.

Tumbuh sebagai remaja, Mama semakin protektif padaku. Dan sebagaimana remaja pada umumnya, aturan tak tertulis itu selalu saja kulanggar. Seakan membatasi kebebasanku untuk bermain dan berkumpul bersama teman-teman. Seringkali kepulanganku menjadi “santapan” malam keluarga. Tak ada habisnya aku dimarahi, hingga aku sampai bosan mendengarnya. Bodohnya aku malah tak bosan untuk berulah lagi. Kadang aku suka membentak balik mereka. Belum lagi orang tuaku yang terlihat lebih perhatian terhadap adikku daripada aku. Jika urusannya dimanja-manja, mungkin adikku akan jadi prioritas utama. Begitu yang kulihat, dan itu tak adil bagiku. 

Hingga suatu ketika ada orang-orang yang membuat sudut pandangku terhadap Mama berubah. Pertama, kakak kelasku di SMA. Dia pernah berkata, “Des, kamu harus mengerti kenapa orang tuamu “seolah-olah” membedakanmu dengan adikmu. Kenapa kamu sering dimarahi ketimbang adikmu. Sebenarnya orang tuamu ingin membuat kamu jadi lebih dewasa, agar siap menjaga adikmu saat orang tuamu sudah tidak ada.” Itu menjawab pertanyaanku mengapa kedua orang tuaku memperlakukanku dengan adik tak adil. Kedua, wali kelasku saat kelas 3 SMA di tengah euforia persiapan Ujian Nasional. Beliau memberi nasihat padaku bahwa aku tak boleh melawan orang tua, bahkan kepada Ibu. “Jangan membuat jarak yang jauh dari Ibu, hanya karena kesal mendengar Ibu yang sering memarahi. Apalagi di momen penting saat akan menghadapi Ujian Akhir Nasional. Kata-kata Ibu bagai doa yang mustajab. Maka dari itu, bersikap baiklah pada Ibu.” Kedua nasihat itu terngiang-ngiang di pikiranku. Semua pikiran jahatku tentang Mama sirna, semenjak saat itu.

Mama, malaikatku

Pada suatu waktu, aku mengalami depresi berat karena sesuatu yang menyakitkan menimpaku. Di saat semua orang di rumah tak mampu menghilangkan keputusasaanku dalam menjalani hidup, kemudian Mama datang segera memelukku. Mama yang saat itu masih punya usaha berjalan di Jakarta, ketika mendengar anaknya mengalami hal seperti itu, ia bergegas kembali ke Bandung. Tak lepas tangannya menggenggam tanganku, dan menuntunku untuk menyebut asma Allah. Satu yang aku ingat, mulutnya tak berhenti berdzikir, sesekali berkata pada anaknya, “Kakak harus bangkit, kakak harus bisa untuk bangkit.”

Entah doa apa yang ia panjatkan untukku. Mungkin benar adanya doa Ibu begitu mustajab. Dan itu terjadi padaku. Perlahan aku mencoba bangkit. Menjalani kehidupan baru dengan lebih baik. Bahkan beliau begitu bahagia ketika aku bisa kembali tersenyum dan tertawa seperti biasanya. Mencoba melupakan semua kesedihan di masa lalu.

Mama yang selalu percaya bahwa anaknya adalah anaknya yang kuat. Ketika rapuh untuk kedua kalinya, Mama yang menguatkan. Kalimat-kalimat positif Mama seperti menyihirku, hingga sedihku kembali sirna. Seolah rasa sakit itu tak pernah ada. Mama pun percaya bahwa selalu ada kuasa Allah yang mengiringi setiap langkah kehidupan. Percaya bahwa setelah kesulitan selalu ada kemudahan. Percaya bahwa selalu ada yang lebih baik yang mampu menggantikan sesuatu yang hilang. Percaya bahwa yang baik pasti akan bertemu dengan yang baik. 

Rasa itu tak mampu diungkapkan

Aku bukan tipikal orang yang mampu mengekspresikan rasa sayang dan rindu kepada keluarga, entah itu pada Mama, Papa, atau adik. Tak mudah kukatakan, “Mamaa, aku kangen” atau “Aku sayang Mama”. Aku lebih memilih untuk memberikan sesuatu tanpa ada ucapan apapun. Pernah suatu kali aku membuat kerajinan bunga dari kertas di sekolah dalam rangka Hari Ibu. Tak berani kuberikan langsung, bunga kertas itu kemudian kusimpan di atas kasur di kamar orang tuaku. Sekaku itu sayangku pada Mama. Aneh tapi nyatanya seperti itu.

Termasuk tulisanku saat ini. Sepertinya dia tak akan membacanya jika aku tak memberitahukannya. Tapi biarlah. Biar rasa sayangku kuwujudkan dengan memberikan sesuatu yang bisa membahagiakannya. Biar kesuksesanku yang menjadi sesuatu yang bisa membanggakannya. Dan biar doaku menjadi obat rindu untuknya.

Untukmu, wanita yang sudah mengandungku selama 9 bulan. Merawatku dan membesarkanku menjadi wanita mandiri hingga saat ini. Wanita yang luar biasa tangguh dan sabar. Untukmu malaikatku, selamat hari Ibu dan selamat ulang tahun Mama. Sehat dan bahagia selalu, dan semoga anakmu bisa selalu membahagiakanmu, selamanya.

Continue reading Mother's Day : Wanita itu Kupanggil Mama