7 Desember 2016

Belum Mau Move On : Skripsi

Bahasanku kali ini nggak akan nyeritain soal mantan. Nggak akan pernah. Karena ketika mendengarnya hingga membayangkannya, itu terasa amat sangat menyakitkan. Oke cukup Des. Katanya nggak mau bahas tentang ini, tapi kenapa masih sensi untuk dibahas, haha. Baiklah, satu dua tiga lupakan.

Sekali lagi, ini bukan belum mau move on karena mantan. Ini tentang momen sedih, haru, senang, bahagia hingga sulit untuk dilupakan. Kutegaskan sekali lagi ya, ini bukan tentang mantan. Ini tentang perjuanganku untuk menyelesaikan tugas akhir dan mendapat gelar Sarjana. Ini momenku bersama Skripsi, yang sayang jika tak kuabadikan dalam sebuah tulisan.

Bukan berniat untuk pamer. Mentang-mentang sudah lulus dan tak lagi dibebani revisi skripsi berkali-kali ataupun menunggu dosen pembimbing yang tak kunjung datang hingga bosan. Aku hanya ingin berbagi kisah bersama orang-orang yang berjuang bersamaku, bersama mereka yang memperjuangkanku, hingga aku bisa melalui masa-masa sulitku saat itu. Kalau ada yang (masih) mengikuti tulisan-tulisanku di blog ini, sudah ada beberapa tulisan mengenai perjalanan skripsiku. Tapi karena dasar aja belum mau move on, jadi ingin bahas tentang ini lagi.

Awalnya aku tak punya ide apapun yang mau kubahas dalam skripsi. Ketika yang lain mulai sibuk mengajukan judul ke dosbing, aku malah masih kebingungan dan mencari-cari jurnal sebagai referensiku. Satu harapanku saat itu, jangan sampai bikin alat. Mahal pikirku. Maklumlah, saat itu kondisi keuanganku tidak mendukung untuk itu. Bahkan untuk minta pada orang tua pun, yaaa aku amat paham kondisinya sehingga aku tak sanggup untuk memintanya.

Saat kuliah, aku tertarik dengan penelitian mengenai teknologi energi terbarukan, terutama tentang teknologi energi angin. Sudah banyak negara-negara yang mengaplikasikan energi angin yang dikonversi menjadi energi listrik. Dan ini yang menjadi dasar pemikiranku untuk aku gunakan sebagai topik dalam skripsiku. Pembangkit listrik tenaga angin. Dengan metode apa? Itu selanjutnya aku bahas dengan dosbingku.

Saat memilih dosbing, aku prefer dosen yang concern di bidang renewable energy. Dosen yang sudah banyak melakukan penelitian mengenai teknologi energi baru dan terbarukan tersebut. Panggilan akrabnya adalah Pak Tri. Beliau adalah salah satu dari sekian dosen favorit mahasiswa untuk dijadikan dosen pembimbing skripsi.

Banyak kakak-kakak tingkatku yang senang bimbingan dengan beliau. Selain karena mudah ketemu beliau di kampus (karena beliau selalu standby di kampus mulai jam 7 setiap pagi meski tak ada kelas), beliau nggak pernah setengah-setengah dalam membimbing mahasiswanya. Bahkan yang bukan bimbingannya pun selalu beliau bantu berikan saran untuk skripsi mereka. Bukan berarti dosen yang lain tak seperti beliau ya. Tentu saja setiap dosen punya cara sendiri dalam membimbing mahasiswanya.

Aku memilih Pak Tri sebagai dosbing utama skripsiku. Bersama 5 orang temanku kami mengajukan diri sebagai bimbingan beliau. Topik kami sama, tentang renewable energy. Ternyata dari 5 orang itu, harus ada 2 orang yang mengundurkan diri. Alasannya adalah karena setiap dosen pembimbing punya batasan jumlah bimbingan, dan Pak Tri hanya bisa menerima 3 orang dari kami. Pak Tri nggak menunjuk kami sesukanya. Beliau mempersilakan kami untuk memilih, kira-kira siapa yang bersedia mundur dan mencari dosen lainnya. Kami malu jika harus memilih sendiri. Hingga akhirnya Pak Tri menanyakan satu persatu topik apa yang ingin kami bahas. Ketika tahu topikku dan temanku, Novita, itu sama, dan menggunakan artificial intelligence sebagai metodenya, maka beliau menyarankan kami berdua untuk bimbingan dengan Pak De, ya itu panggilan akrab beliau.

Perjuangan skripsiku akhirnya dimulai. Bersama 6 orang temanku, Novita, Andes, Reo, Bryan, Gunawan, dan Ao (nama aslinya Diah Ayu Oktaviani, tapi kami memanggilnya Ao. Bukan Ao sapaan teletubbies lho ya? Haha). Sejujurnya aku malu dengan Pak De. Untuk menentukan judul saja aku harus berkonsultasi dengan beliau. Baru judul lho, belum sampai isinya. Memang manja aku ini. Dan ini yang buat aku kagum dengan beliau. Apapun yang kita tanyakan, selama beliau mampu, beliau tak segan untuk membantu.

Perjuanganku dimulai dengan seminar proposal. Sebelum mengerjakan skripsi, kami harus mempresentasikan proposal skripsi kami, apakah layak dilanjutkan atau tidak. Lagi-lagi aku segan jika bimbingan dengan Pak De. Percayalah, jika kebanyakan mahasiswa harus mengejar-ngejar dosbingnya untuk bimbingan. Tetapi Pak De, beliaulah yang sering mengingatkan mahasiswanya untuk bimbingan. Selalu ditanyakan sudah sampai mana progressnya, apa yang menjadi kesulitannya. Apapun yang sekiranya membuat kita belum bisa mengerjakannya. Sungguh malu saya Pak. Kok mau membimbing mahasiswa yang manja ini? Huhu.

Hari seminar proposal pun tiba. Aku mempresentasikan proposalnya mengenai simulasi pembangkit listrik tenaga angin untuk beban seimbang menggunakan neural network. Kurang lebih seperti itu judulnya. Tuh, kurang berterima kasih apa dengan Pak De, sudah dibantu membuatkan judul tapi sekarang malah lupa lagi. Maafkan mahasiswamu ini Pak. Beban kerja di kantor membuat saya lupa dengan momen berat skripsi-an. Alasan klasik kamu Des.

Bimbingan dengan Pak De tak melulu hanya soal skripsi. Tak hanya soal apa itu neural network atau bagaimana seharusnya aku presentasi saat seminar nanti. Terkadang ada kalanya aku curhat dengan beliau mengenai permasalahan pribadi. Tak terlalu pribadi. Kusampaikan pada beliau bahwa aku harus bisa lulus di semester 8. Lulus 4 tahun. Karena orang tuaku tak sanggup lagi untuk membiayai kuliahku, sehingga mau tak mau aku harus memaksa diriku untuk menyelesaikan kuliahku tepat waktu. Tepat 4 tahun.

Sayangnya aku -seperti mahasiswa pada umumnya- setelah seminar proposal tak langsung melanjutkan penelitian. "Kulempar" saja draft proposal itu di kamar, dan beralih untuk fokus pada kegiatan himpunan. Masa-masa akhir jabatanku membuatku lebih sibuk. Belum lagi persiapan UAS dan ujian praktikum. Semua itu membuatku lupa untuk mengerjakan skripsi. Lupa kalau aku harus lulus tepat waktu, bukan di waktu yang tepat. Lupa kalau seharusnya aku tidak terlalu sesantai ini.

"Mbak Desty, sudah sampai mana skripsinya?"

Pesan singkat dari Pak De di ponselku yang amat singkat dan jleb di hati amat tersirat dengan jelas. Jelas ini adalah semacam "peringatan pertama" buatku akan kelanjutan skripsiku. Dan ini membuatku tersadar. Sadar kalau sejak seminar proposal, draft proposal belum lagi kusentuh. Bahkan aku lupa dengan yang aku bahas dalam proposal itu. Sadar kalau untuk lulus tepat waktu waktunya tidak banyak lagi. Sadar bahwa mempelajari metode skripsiku pun butuh waktu. Sadar kalau harusnya aku yang giat bimbingan dan konsul dengan Pak De. Nggak etis rasanya kalau dosen yang harus mengingatkan mahasiswanya.

Karena sikap nyantai banget dan kesulitan dalam pengerjaan skripsi dengan neural network. Akhirnya aku menyerah. Tak lagi membahas kontrol turbin angin dengan metode itu. Mentok dengan itu, Pak De menyarankanku untuk membahas skripsi yang pernah dibuat oleh kakak tingkatku, Mas Andik. Beliau membahas mengenai simulasi pembangkit listrik hibrida antara photovoltaic dengan fuel cell menggunakan fuzzy controller dengan Matlab. Dengan menggunakan sumber yang berbeda, aku mencoba mengaplikasikan apa yang sudah dikerjakan beliau dengan menggunakan turbin angin.

Dan aku pun alhamdulillaah dibantu oleh Mas Andik tentang bagaimana proses pembuatan simulasinya, sehingga aku bisa mengaplikasikannya pada simulasiku. Aku pun bersyukur dibimbing beliau. Di sela kesibukan beliau yang bekerja di Pasuruan, saat pulang ke rumahnya (Jember) beliau masih menyempatkan bertemu denganku untuk mengajariku mengenai skripsi beliau. Bahkan saat tak bisa bertatap muka, beliau tak bosan menjawab semua pertanyaanku lewat chat. Kadang aku juga terlalu. Sekalinya aku pernah bertanya pada beliau hampir tengah malam. Tapi sungguh baik Masnya ini, beliau masih terbangun dan menjawab semua pertanyaan adik tingkatnya yang manja ini. Terima kasih ya Mas Andik sudah mau direpotkan dulu.

Dalam proses ngebut mengerjakan skripsi, aku dan teman-teman bimbingan setiap minggu. Dalam 1 minggu bisa 2-3 kali bimbingan. Tak kenal jam kerja (dosen), bimbingan malam di kampus kami kejar. Bahkan tak jarang waktu malam minggu kami habiskan bersama laptop kami tercinta. Sekali lagi, bimbingan kami tak selalu serius. Ada kalanya diselingi dengan candaan konyol ataupun menonton tayangan kocak di Youtube untuk sekedar melepas penat dan kesal karena skripsi. Inilah yang aku suka kalau bimbingan dengan Pak De.

Lalu kapan aku bimbingan dengan Pak Tri? Sepertinya aku terlalu asyik bimbingan dengan Pak De, seakan-akan aku lupa bahwa aku punya dua pembimbing. Dan dua-duanya orang hebat buatku. Sejujurnya Pak Tri ini adalah Pamanku sendiri, yang saat aku kuliah aku menumpang tinggal di rumah beliau. Jadi yaa sorry sorry to say aku tak perlu menunggu dosen berjam-jam di kampus ataupun mengejar beliau ke rumahnya. Tapi bukan berarti aku memanfaatkan keuntungan ini ya. Kebetulan saja skripsiku banyak berhubungan dengan penelitian beliau. Salah satunya pernah dikompetisikan di Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) bersama mahasiswa-mahasiswa yang tergabung dalam 1 kelompok PKM (Pekan Kreativitas Mahasiswa) dan aku termasuk di dalamnya. Bangga.

Jadi sambil menunggu beliau agak santai dari aktivitas pekerjaan kantor (di rumah), barulah aku bisa bimbingan. For your information, Pak Tri ini belajar tak mengenal tempat, tak hanya di kampus, bahkan di rumah pun beliau masih mengotak-atik laptopnya untuk belajar atau sekedar menyiapkan materi kuliah untuk esok harinya. Dan bimbinganku tak seperti Pak De. Biasa, karena hubungan paman dan keponakan tapi rasa dosen dan mahasiswa, jadi aku kadang suka canggung dengan beliau. Walau begitu, beliau tak segan memberikan masukan yang amat bermanfaat untuk skripsiku.

Meski dikerjakan dalam waktu yang cukup singkat, tak berarti aku mulus-mulus saja saat mengerjakannya. Banyak hambatan yang aku hadapi. Mulai dari laptop yang nggak sanggup menjalankan simulasi karena data yang di-run sangat banyak hingga aku terpaksa harus menambah RAM di laptop. Tapi nggak ngaruh. Laptopku tetap tak sanggup menjalankan simulasi dengan olah data sebanyak itu. Akhirnya akupun harus meminjam (bergantian) dengan Novita yang laptopnya memiliki RAM 8 GB. Ya 8 GB! Memang gila kami. Tapi demi skripsi, apapun, sampai yang gila sekalipun harus kami lakukan.

Tak jarang grafik (simulasi) yang dihasilkan tak sesuai dengan harapan. Berulang kali diotak-atik parameternya. Nihil. Aku yang mengadaptasi simulasi turbin angin dengan menggunakan PMSG (Permanent Magnet Synchronous Generator) dari sebuah Jurnal milik seorang peneliti dari India, Siva Malla, pun harus berurusan dengan beliau dengan menanyakan bagaimana aku bisa memodifikasinya namun bisa mengeluarkan output seperti yang aku inginkan. Tapi itupun tak semudah yang dibayangkan. Sekali lagi, output yang dihasilkan tak sesuai dengan yang kuinginkan membuatku stres dan ingin menyerah.

Pernah sekali aku menangis saat menelepon ibuku di suatu malam sehari sebelum aku seminar hasil. Aku curahkan semua ketidakmampuanku pada ibu. Bagaimana bila aku mundur saja. Bagaimana jika aku tak bisa melanjutkan skripsi ini. Ibuku dengan sabar menyemangatiku, memberiku kata-kata motivasi. Aku ingat kata-kata ibu di telepon, "Kakak yakin nggak sama kuasa Allah? Yakinkan diri Kakak. Minta sama Allah dipermudah, insyaAllah. Mama doain kamu dari sini". Dan kata-kata itu yang menguatkanku menghadapi kesulitan yang sedang kuhadapi, saat itu.

Aku ingat sekali pada malam itu. Pak De sampai memberi pinjam laptop beliau agar aku bisa menyelesaikan simulasiku. Karena beliau tahu laptopku tak mampu menjalankan simulasi. Sungguh merepotkan bimbingan Bapak yang satu ini. Aku pun berterima kasih kepada orang tua Novita, karena sudah mengizinkan teman anaknya bermalam di rumah. Aku menghabiskan malam di rumah Novita beberapa jam sebelum seminar hasil untuk memantapkan hasil simulasiku. Aku mengerjakan simulasi dan draft skripsi menggunakan dua laptop. Laptopku kugunakan untuk mengerjakan laporan, dan laptop Pak De kugunakan untuk menjalankan simulasi. Finally, jam 8 pagi laporan selesai kukerjakan. Ini belum termasuk mandi, sarapan, menyiapkan konsumsi untuk dosen dan audience seminar, dan mencetak draft skripsi. Alhasil kami harus ngebut lagi untuk menyelesaikan semua pekerjaan itu. Tiba di kampus, bergegas ke ruang seminar dan Alhamdulillaah, presentasiku berjalan lancar. Lancar dengan berbagai revisi yang harus kuperbaiki.

Tuhan seakan ingin terus mengujiku. Di tengah perjalananku menuju sidang skripsi, aku harus dihadapkan dengan kesulitan mengerjakan revisi dari dosbingku. Simulasiku macet, hingga mau tak mau aku harus meminjam laptop berkualitas tinggi lagi. Ya, laptopnya Novita. Tapi karena saat itu Novita harus persiapan sidang, jadi aku harus bersabar menunggu giliran. Untungnya jadwal sidang kami berbeda 1 minggu. Setelah Novita selesai sidang, baru aku bisa melanjutkan mengerjakan revisi skripsiku.

Selama seminggu itu pun terasa tak berjalan lancar. Lagi lagi aku harus mengalami simulasi macet. Karenanya laporanku pun harus macet di tengah Bab Pembahasan. Pukul 7 pagi simulasiku akhirnya.. akhirnya bisa berjalan dan akhirnya pula output yang dihasilkan sesuai yang aku inginkan. Setidaknya begitu. Pukul 8 pagi laporanku selesai kukerjakan. Bodohnya aku, selama waktu (stres) mengerjakan semalaman, aku tak sempat mengisi baterai ponselku yang sudah dalam kondisi very low battery. Sekali angkat telepon, ya wassalam. Jadwal sidangku jam 10 pagi, dan jam 9 pagi aku baru berangkat dari rumah. Naasnya aku ketika aku menerima telepon dari dia (mantanku) kalau sidangnya sudah selesai. Itu artinya jadwalku dipercepat setengah jam. Gila! Sidang setengah 10 pagi, dan aku belum mencetak draft skripsi, menyelesaikan presentasi, ponsel kondisi sekarat, dan laptop pun butuh asupan daya karena belum kucharge. Butuh waktu berapa lama untuk itu? Sedang dosbing dan dosen penguji sudah menunggu di kampus.

Stres dan panik. Itu yang aku rasakan selama perjalananku menuju tempat fotokopian. Tangan ini rasanya dingin. Badan ini lemas. Kaki ini tak sanggup untuk melangkah ke kampus. Pukul 10 pagi dan aku masih menunggu mas fotokopian mencetak draft skripsiku. Pukul 10 pagi dan aku belum menyelesaikan presentasiku! Oh Tuhan, seandainya bisa kuhentikan waktu. Seandainya kesulitan ini tak datang padaku. Aku ingin menangis saja saat itu.

Selesainya dari tempat fotokopi, aku bergegas mencari sumber catu daya untuk mengisi energi pada laptopku. Tak mungkin di kampus. Lantas aku membelokkan setir motorku ke UPT TI. Syukurlah, saat itu masih ada bangku dan stop kontak yang kosong. Segera aku kesana, dan menyelesaikan pekerjaan yang belum kuselesaikan.

Bagaikan narapidana yang kabur dari penjara dan menjadi buronan semua orang. Berapa kali ponselku berdering dan tak ingin kuangkat. Dari tanteku, kedua dosbingku, bahkan keluarga dari Bandung, berkali-kali bergantian meneleponku. Seolah mencari anaknya yang hilang. Kemana Desty ini? Sedang apa dia? Bukannya tak ingin kuangkat, tapi tangan dan pikiranku amat fokus untuk menyelesaikan presentasiku.

Dan dia pun datang. Dia yang tadi menelepon dan memberitahu kalau sidangnya sudah selesai. Ya dia. Sebentar, kok jadi agak baper gini ya. Sebentar, atur napas dengan baik dulu..

Dia datang seolah menyelamatkanku. Dan ketika dia menghampiriku, tak kuasa ku menahan tangis. Menangis dan tak mampu untuk berkata-kata. Dia menyerahkan ponselnya. Ayahku menelepon lewat ponselnya. "Ayo ngomong," katanya. Aku menggeleng. "Lho, ayo ngomong, ini Papa kamu lho," sekali lagi dia berkata sambil menyerahkan ponselnya padaku.

"Kenapa Kak, kok nangis?" Kalimat pertama Ayah membuatku semakin menangis. Sembari mendengar tangisanku beliau menasihatiku, "Sidang itu bukan untuk ditangisin Kak. Dihadapi aja. Ntar kan juga ada revisi. Nggak usah takut. Kamu kan jauh dari Papa, Papa cuma bisa bantu doa buat kamu." Kata-kata beliau kembali menyemangatiku. Tangisanku mereda. Setelah menerima telepon itu, dia mengajakku untuk ke kampus, menemui dosbingku. Malu rasanya. Sudah membuat banyak orang khawatir, dan sekarang harus menemui dosen-dosenku dengan muka sembab seperti ini.

Saat tiba di kampus, aku segera menuju kantor jurusan. Disana sudah ada dua dosbingku. Menungguku. Aku duduk disana, menghadap mereka, dan aku kembali menangis. Jujur aku sudah tak punya lagi muka untuk menemui mereka. Aku sungguh mahasiswa yang tak tahu malu. Dua dosen pengujiku sudah melanjutkan aktivitas mereka di luar kampus. Aku tak bisa berkata-kata lagi saat itu. Suaraku parau habis menangis. Pak De menyarankanku untuk sidang lagi minggu depan, supaya aku lebih siap. "Yang penting lulus dulu kan? Wisudanya bisa menyusul bulan November." Aku mengangguk setuju. Tapi tidak dengan Pak Tri, beliau masih memperjuangkanku agar bisa wisuda di Bulan Juni. Pak Tri memastikanku apa aku siap dengan presentasinya hari ini. Beliau tetap perjuangkan agar aku bisa sidang di hari itu juga. Langsung beliau telepon kedua pengujiku dan Alhamdulillaah mereka bersedia untuk kembali ke kampus dan mengujiku.

Sambil menunggu kedua pengujiku datang, aku memantapkan presentasiku di luar kantor jurusan. Disana ada banyak teman-teman angkatanku. Mereka menghampiriku, merangkulku, dan memberi semangat. Tak lama kedua pengujiku datang. Finally, battle time. Siap tidak siap, hadapilah.


Bismillaah, sidang skripsiku dimulai. Sejujurnya aku tak puas dengan tampilan presentasiku saat itu. Apa adanya banget. Kelihatan kalau dikerjakan dengan terburu-buru. Namun terlepas dari semua itu, aku berusaha maksimal untuk presentasi. Semua mata tertuju pada presentasi dan penampilanku. Akhir dari presentasi, semua penguji memberikan kritik dan masukan. Revisi pun datang, dari A sampai Z. Well, aku terima semua itu. Karena nggak pernah ada skripsi yang sempurna. Toh revisi itu ada untuk menyempurnakan bukan?

Selesainya sidang, semua dosen menghampiriku. Berjabat tangan dan memberi ucapan selamat. Aku masih setengah sadar saat menerima ucapan itu. Bahkan saat teman-teman masuk ke ruang sidang dan bergiliran mengucapkan selamat, "Selamat ya Des, udah ST!", aku hanya bisa menjawab terima kasih dan tersenyum tipis. Sungguh tak percaya dengan apa yang kualami hari itu. Menjadi buronan kampus dan beberapa jam kemudian sudah jadi Sarjana saja. Walau masih ada revisi, tapi setidaknya beban berat menghadapi sidang sudah terlewati.

Well, itulah kisah perjuangan skripsiku dengan kejadian konyol di dalamnya. Jadi itu juga yang jadi alasanku menulis tentang ini. Mengenang momen konyol yang tak ingin dilupakan, haha. Dan aku ingin mengenang momen bersama orang-orang dalam kisah ini agar aku tak pernah lupa bahwa aku pernah mengalaminya. Pak De dan Pak Tri, dua dosbingku yang luar biasa. Keenam orang temanku yang selalu ada dalam masa-masa berat itu. Teman-temanku yang membantuku dari zaman seminar proposal sampai sidang, yang selalu setia menunggu. Dan dia, yang saat itu selalu ada.

Sooo, jangan pernah anggap remeh skripsi, tapi jangan juga merasa berat mengerjakannya. Saat aku menulis ini, aku merasa kesulitan skripsiku ini belum ada apa-apanya dengan pekerjaanku sekarang. Intinya adalah bagaimana kita mampu dan berani mengambil resiko untuk menghadapinya. Sesulit apapun skripsi, percayalah Tuhan akan memberikan jalan. Apapun dan bagaimanapun caranya.

Tetap semangat pejuang Skripsi, perjalananmu masih panjang. Berjuanglah, kamu pasti bisa ^_^9!


*PS : Maaf ceritanya agak drama :D


Sumber Gambar : Line Webtoon #moments Jilid : Tugas Akhir

12 komentar:

  1. Ahaahaha, Well, selamat ya, udah jadi ST.

    Perjuangan skripsi itu memang super, dan enggak tahu kenapa, hampir di seluruh kampus pasti dosennya sudah ducari. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe, terima kasih ucapannya. Sebenernya ini cerita 2 tahun yang lalu sih, tapi sayang kalau ngga diceritain lagi.

      Betul sekali, mungkin itu yang akhirnya jadi momen tak terlupakan. Supaya tahu bagaimana rasa berjuang, capek, males, nangis, dan berakhir bahagia :D

      Terima kasih sudah berkunjung ya ^^

      Hapus
  2. Ha..ha.. Jadi inget jaman kuliah dulu. Iyes. Skripsi memang momok bagi banyak mahasiswa. temanku ga cuma satu dua lo yang milih Do karena skripsinya ga kelar2

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali mbak, kakak tingkat sy pun harus menghadap dosen sampai 11 kali dengan judul yang berbeda. Tapi alhamdulillaah beliau bisa lulus juga.
      Sepertinya tingkat kesulitan skripsi untuk S1 harus diturunkan, biar ngga disamain sama thesis, haha.
      Harus ada orang" yang selalu menyemangati mbak, supaya kita bisa termotivasi untuk bisa menyelesaikannya, hehe..

      Hapus
  3. tulisan mba destiany buat saya teringat jaman - jama skripsi. Dulu setiap di tanya, "udah sampai mana skripsinya?" rasanya pengen pura - pura pingsan. saking seringnya ditanya skripsi, berasa mual. haha.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha, entah kenapa skripsi masih jadi momok menakutkan ya buat mahasiswa. Padahal setelah lulus dan kerja, ada yang lebih menakutkan dari skripsi, hahaha..
      Terima kasih sudah berkunjung ya :)

      Hapus
  4. Eh padahal ngomongin mantan itu seru banget lho hahaha

    BalasHapus
  5. Haha, janganlah, ntar yang ada malah baper terus berhenti nulis di tengah jalan, haha..

    BalasHapus
  6. Oooo skripsi itu perjuangannya panjang yah?
    Oke, kalo gitu nanti aku pilih univ yang gak pake sidang skripsi. nulis akan lebih cepet kalo gak ada beban pikiran bakalan ditanya2 di hadapan beberapa orang...menurut gue sih gtu. Cuma belajar sekian taun, nulis paper, udah gitu aja...hahahahah :D gak perlu tanya jawab di hadapan pengajar.

    pemalas ._.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha, itulah indahnya skripsi. Kalo skripsi nggak ada perjuangannya, kuliah terasa flat, hehe.
      Buat orang" yang udah lulus dari ujian (hidup) skripsi, dan ngadepin dunia kerja, akan ngerasa bahwa : skripsi itu nggak ada apa"nya dibanding apa yang dihadapi saat ini.
      So, sesusah apapun skripsi, hadapilah, karenanya kita akan tahu apa arti dari perjuangan dan pengorbanan (ciee), wkwk.. trust me, it works :D

      Hapus
  7. Selamat yah mba sudah lulus ST nya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih banyak yaa, sudah cukup lama lulus sebenernya hehe..

      Hapus